Bagaimana Konsep Pendidikan Karakter di GONTOR ?

Sistem Pendidikan Karakter ala GONTOR

Hingga saat ini, orang masih ribut tentang konsep pendidikan karakter, namun, kenyataannya, baru dalam tataran wacana, sekadar berkembang dengan baik di seminar-seminar, atau talk show-talk show di televisi, bahkan masih kontroversial di antara lembaga pendidikan.

Dengan pemikirannya yang brillian, para pakar itu menjelaskan bagaimana sebaiknya pelaksanaan pendidikan karakter itu. Akan tetapi, bagaimana bentuk konkretnya, sebagai keberhasilan pemikiran para pakar itu, belum ada contoh yang nyata, yang dapat dilihat.

Tulisan ini hanya akan memaparkan pendidikan karakter menurut pengalaman Pondok Modern Darussalam Gontor (PM Gontor/Gontor), sebagai upaya tukar pengalaman, tanpa bermaksud menggurui.

Definisi Pondok Pesantren Menurut Pendiri GONTOR

Pendiri PM Gontor mencanangkan definisi tentang pondok pesantren demikian,

“Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dimana kyai sebagai sentral figur, dan masjid sebagai titik pusat yang menjiwainya.”

Definisi tersebut, tentu, tidak universal, hanya menurut PM Gontor. Yang jelas, definisi itu menunjukkan bahwa pondok itu melakukan pendidikan karakter, yakni pendidikan tentang kehidupan dengan karakter Islami menurut ikhtiyar Gontor.

Kyai sebagai sentral figur bermakna segala gerak-gerik kyai, peranan kyai, sepak terjang kyai, kehidupan kyai, hingga rumah kyai dapat dilihat untuk dijadikan contoh bagi para santrinya.

Sementara itu, makna masjid sebagai titik pusat yang menjiwai, menunjukkan bahwa masjid merupakan pusat dan ruh pendidikan karakter yang religius.

Pilar utama nilai pendidikan karakter di Gontor ada lima, lazim disebut Panca Jiwa, yakni Keikhlasan; Kesederhanaan; Ukhuwwah Islamiyah; Kemandirian; dan Kebebasan.

Kecuali itu, ada motto:

“Berbudi tinggi; Berbadan Sehat; Berpengetahuan Luas; dan Berpikiran Bebas.”

Maknanya, sebelum seseorang berpikiran bebas, dia harus berpengetahuan luas.

Sedangkan syarat berpengetahuan luas (mencari ilmu) adalah berbadan sehat dan berbudi tinggi. Dalam praktiknya, nilai-nilai itu dijabarkan dalam bentuk materi pendidikan dan pengajaran, dan ditanamkan kepada para santri agar menjadi pengangan hidup.

Penanamannya dilakukan secara masif, yakni melalui pengajaran-pengajaran di dalam kelas Kulliyyatu-l-Mu‘allimin al-Islamiyyah (KMI) —lembaga pendidikan klasikal-nya Gontor— maupun pendidikan di luar kelas.

Hal di atas sangat mungkin dapat dilakukan karena PM Gontor mewajibkan guru dan santrinya tinggal di pondok selama 24 jam penuh dalam sehari. Jadi, PM Gontor mengambil seluruh tri pusat pendidikan yang ada (rumah, sekolah, dan masyarakat). Karena belajar hidup, maka segala sesuatu (sekolah, mandi, makan, tidur, mencuci baju, dsb.,) dilakukan di dalam pondok.

Sebagai teladan atau contoh penerapan jiwa-jiwa di atas adalah santri lama, para guru, dan puncaknya kyai—di Gontor disebut Pimpinan Pondok. Dengan sistem asrama penuh, penanaman jiwa pondok dan pendidikan karakter benar-benar lekat dan dapat menjadi pegangan hidup.

Rekening Wakaf Pendirian Pesantren Primago
Sudahkah Berwakaf di Bulan Ini ?

Proses Pendidikan di Pesantren GONTOR

Proses pendidikan di dalam dan di luar kelas (asrama) berlangsung masif dan integral; guru di kelas adalah juga guru pembimbing di asrama, di luar kelas.

Di PM Gontor, budaya meniru sangat kuat. Agar lebih mudah dicerna, pendiri Gontor menyederhanakan pengertian pendidikan, yakni apa yang dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan.

Karena seluruh santri, guru, dan kyai tinggal di dalam pondok, setiap hari, para santri akan melihat segala gerak-gerik para guru dan kyai, perilakunya, cara makannya, ibadahnya, cara berpakaiannya, dsb. Meskipun tidak mengalami, seorang santri dapat melihat, mendengar, dan merasakan.

Lantas, semuanya akan tertanam di dalam hati dan pikirannya. Muaranya, para santri akan meniru apa saja yang dilakukan para pendahulunya, begitu seterusnya, belangsung selama bertahun-tahun.

Pendidikan karakter di sekolah (KMI) ditanamkan melalui pelajaran Al-Qur’an, Al-Hadits, Mahfuzhat (Kata-kata Hikmah), Muthala‘ah, termasuk pelajaran Tata Negara, Sejarah, dsb.

Sementara itu, di luar kelas, baik di asrama maupun di tempat-tempat aktivitas di luar asrama, pendidikan karakter dilakukan melalui aktivitas kepramukaan, keorganisasian, keolahragaan, kesenian, kebahasaan, dan keterampilan. Memang, tidak semua santri mengikuti semua aktivitas itu, ada aktivitas pilihan.

Banyaknya aktivitas itu menyebabkan tidak ada kamus menganggur bagi santri Gontor. Istirahat adalah pergantian aktivitas, bukan menganggur, istirahat, bersantai, atau leyeh-leyeh. Ada seorang ahli pendidikan mengatakan, bahwa pendidikan karakter lebih efektif dilakukan melalui aktivitas ekstra kurikuler. Begitu pula yang dilakukan Gontor.

Dari aktivitas kepramukaan, misalnya, dapat ditanamkan nilai pendidikan karakter seperti kerja sama, ukhuwwah (‘persatuan’), keberanian, toleransi, nasionalisme, dsb. Dalam aktivitas keorganisasian, dapat ditanamkan nilai keberanian, tanggung jawab, keikhlasan, keadilan, kejujuran, kedewasaan, dsb.

Begitu seterusnya. Kalau ada yang meragukan nasionalisme anak Gontor, datang saja ke Gontor! Anda pasti akan malu. Jangankan anak Gontor yang asli Indonesia, para santri yang berasal dari Malaysia, Thailand, Amerika, Australia, dsb., saja wajib berlatih pramuka seminggu sekali.

Dalam latihan itu, mereka wajib menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, mengibarkan bendera merah putih, dan membaca Pancasila. Hebat, bukan?

Ada juga, orang yang belum paham mencemooh Gontor, yang seolah, tidak membaur dengan masyarakat. Untuk hal ini, K.H. Imam Zarkasyi (almarhum, salah satu Pendiri Gontor) pernah mengatakan, “Apa yang kamu lihat dan kamu alami di pondok ini akan kamu temui di masyarakat nanti.”

Sementara itu, pendidikan kemasyarakatan yang diajarkan Gontor itu adalah masyarakat internasional, bukan hanya masyarakat desa. Namun, kenyataannya, pendidikan kemasyarakatan ala Gontor juga cocok diterapkan di masyakat mana saja, termasuk masyarakat desa.

Buktinya, sudah banyak alumni Gontor yang berhasil mengabdi di masyarakat, diterima dengan baik di masyarakatnya, kecuali yang telah berkiprah di skala nasional maupun internasional..


Pendidikan Karakter Menyentuh Semua Elemen Pesantren GONTOR

Pendidikan karakter tidak berhenti pada santri, melainkan juga setelah santri menjadi guru. Tugas guru Gontor ada tiga, yakni mengajar dan mendidik santri, mengikuti perkuliahan, dan membantu Pimpinan Pondok dalam berbagai hal, seperti menjadi sekretaris Pimpinan Pondok, menjadi staf Bagian Administrasi (Keuangan), menjadi staf di KMI, menjadi staf Universitas Darussalam, mengelola yayasan dan peluasan wakaf Pondok, menjadi staf Pengasuhan Santri, menjadi wali kelas, membimbing santri di asrama-asrama, menjadi pengurus Dewan Mahasiswa, dsb.

Para guru itu dalam menjalankan tugas, sama sekali, tidak dibayar. Tidak ada uang jabatan, tidak ada uang rapat, tidak ada honor kepanitiaan, tidak ada uang lelah, dsb. Mereka sadar bahwa dirinya, pribadinya akan dicontoh, akan ditiru oleh para siswa atau santri.

Mereka bekerja all out. Pengalamannya mengemban amanat itu sudah merupakan gaji terbesar bagi mereka. Betapa tidak. Kyai atau Pimpinan Pondok mempercayakan amanah yang cukup berat kepadanya. Seorang guru di dalam kelas, juga membimbing santri di luar kelas, di asrama dan aktivitas ekstra kurikuler.

Bagian Administrasi, misalnya, dalam usia 20 tahunan harus mengurus keuangan pondok yang berjumlah trilyunan. Beberapa staf yang bekerja di lembaga ini harus bertanggung jawab atas keluar masuknya uang dalam jumlah cukup besar, uang ribuan orang siswa, dan uang milik pondok. Pedoman kerjanya, pesan K.H. Imam Zarkasyi, “Administrasi yang baik wajib, perlu (mutlak) untuk menjaga kepercayaan.”


Proses Pelaksanaan Pendidikan Karakter di GONTOR

Proses pendidikan karakter di Gontor dibarengi dengan penerapan disiplin ketat. Setiap awal tahun, di PM Gontor ada “Tengko” (teng komando). Malam itu, usai shalat ‘Isaya’, di setiap asrama dibacakan segenap peraturan yang ada di PM Gontor, sekaligus sanksinya jika melanggar.

Pembacaannya pun hanya sekali, tidak diulang. Sejak malam itu pula semua santri wajib mentaati disiplin, di antaranya disiplin waktu, disiplin berpakaian, disiplin bahasa, disiplin beraktivitas, dsb.

Begitulah penanaman atau pendidikan karakter di PM Gontor. Hasilnya, setelah tamat, para alumni Gontor akan begitu mudah dikenali oleh orang pada umumnya, dan, apalagi, sesama alumni, khususnya, meskipun berbeda dekade.

Dalam suatu kunjungan ke luar negeri bagi para kepala sekolah Madrasah Aliyah Negeri (MAN), seorang alumnus yunior “curiga”, bertanya kepada salah satu kepala MAN, “Antum khirrij Ma’had?” (‘Apakah Anda alumnus Gontor?’). dengan terperangah, orang tersebut menjawab, “Na’am, ana min Ma’had?” (‘Benar, saya alumnus Gontor.’). Lantas perbincangan akrab pun terjadi, seolah bapak dengan anak.

Cerita lain. Suatu saat, sejumlah 40 orang perwakilan lembaga pendidikan di Indonesia berkesempatan mengunjungi Amerika Serikat. Setelah bertemu dan saling berkenalan, 30 di antaranya, ternyata, adalah alumni Gontor.

Subhanallah! Demi melihat hal itu, salah satu alumnus mengatakan, “Hadza jami‘atu al-firan.” (‘Wah, ini pasukan tikus, namanya.’), mengenang salah satu kisah dalam pelajaran Muthala’ah di Gontor. Mendengar olok-olok seperti itu, mereka pun tertawa, tak seorang pun marah.

Ada yang menarik dari pendidikan karakter di Gontor, yakni pesan para pendiri yang dijadikan slogan bekerja dan bersikap. Slogan itu pengalaman hidup kyai pendiri.

Dalam pengarahan sebelum berkerja untuk pondok, seperti mengecor gedung, Kyai selalu berpesan, “Anak-anakku sekalian, kita akan ngecor. Ikhlas bekerja, tidak ikhlas juga harus bekerja. Maka sebaiknya, berkerjalah dengan ikhlas.”

Dalam mengabdi kepada pondok, sebaiknya, total, tanpa pamrih. “Banda, bau, pikir, lèk perlu sak nyawane pisan.” Yang lain, dengan lantang, kyai berkata kepada santrinya, “Jika tempat tidur saya, baju saya, makan saya lebih baik dan lebih enak daripada anak-anak, silakan protes!” Di Gontor, kyai tidak dibayar, bahkan juga masih membayar dalam beberapa urusan.

Mengenai karakter kyai Gontor, pernah ada cerita, seorang santri ingin sekali membantu menyapu rumah kyai. Awalnya, isteri kyai itu melarang, karena memang sudah ada pembantu yang biasa melakukan. Namun, sang santri ini memohon dengan sangat, demi pengabdiannya.

Akhirnya, suatu kali, dikabulkan. Apa yang terjadi? Saat harus menyapu kamar kyai, tiba-tiba matanya meleleh, sesenggukan menangis terharu. Betapa dia melihat sendiri kesederhanaan sang kyai. Sebuah tempat tidur besi kuno, dengan kasur kapuk, namun semua sprei dan sarung bantalnya putih, bersih.

Hampir-hampir, dia menghentikan pekerjaannya. Begitulah Gontor, apa adanya. Pendidikan karakter bukan sekadar kata-kata, melainkan dapat dilihat dan ditiru dari kyainya.

Sungguh, pendidikan karakter ala Gontor, membuat karakter itu melekat erat dalam diri para santri dan para alumni, bahkan menjadi pakaian atau sikap pribadinya, sehingga mudah dikenali.

Bagaimana tidak menjadi pakaian. Para santri itu dididik selama 24 jam sehari, berlangsung selama 4, 6, bahkan 10 tahun (bagi yang menjadi guru hingga sarjana), jelas akan melekat sampai kapan pun. Sehingga, pakaian Gontor itu dapat terlihat jelas.

Bahkan, untuk menjaga agar pakaian itu tidak lepas, setiap tahun, K.H. Ahmad Sahal selalu berpesan kepada calon alumni Gontor, “Di jidatmu telah tertulis kata ‘PM’ (Pondok Modern).” Maka, para alumni harus berhati-hati, menjaga marwah, agar tetap terhormat, dihargai karena akhlaqnya, akhlaq Gontor.

Sedikit cerita, pernah suatu ketika salah seorang presiden RI akan mengangkat seseorang menjadi duta besar, lantas bertanya begini:
“Bapak dulu alumnus mana?”
“Saya alumnus S2 Univesitas Indonesia.”
Sang Presiden masih ragu, belum mantap atas jawaban itu. Lantas, kembali terlontar pertanyaan pendek. “Sebelumnya?”
“Saya tamatan sarjana IAIN Ciputat.”
Kening Presiden berkerut, belum puas atas jawabannya; ragu demi melihat karakter yang dimiliki calon dubes itu. Pertanyaan serupa di atas pun diulang, “Sebelumnya?”
“Oh, sejak tamat Sekolah Dasar hingga Sarjana Muda, saya dididik di Pondok Modern Gontor.”
Spontan, Presiden tersenyum, sembari menunjukkan jari telunjuknya, berkata, “Nah, ini yang saya maksud, yang saya cari. Kalau ini saya baru percaya.”

Subhanallah! Sungguh, mengharukan.

Maka, kalau mau melihat pendidikan karakter yang sesungguhnya, datanglah ke Gontor! Semua dapat dilihat dengan jelas, apa adanya.

Akhir September 20017
[Penulis : Ust. Nasrulloh Zarkasyi | Semoga jadi amal jariyah bagi Penulis dan Penyebar tulisan inspiratif ini…. aamiinn Allahumma Aamiinn]

BACA : 13 Logis Alasan Anak Zaman Now Sekolah di Pesantren