SIAP MEMIMPIN DAN DIPIMPIN

Menumbuhkan Kepemimpinan Sejati di Tengah Budaya Rebut Tahta

SIAP MEMIMPIN DAN DIPIMPIN | Di tengah hiruk-pikuk dinamika sosial-politik Indonesia, kata “kepemimpinan” menjadi semakin sering digaungkan. Sayangnya, banyak yang memahami kepemimpinan hanya sebagai posisi, jabatan, atau simbol kekuasaan.

Padahal, leadership — dalam makna yang lebih dalam — bukan hanya soal siapa yang berdiri di depan memberi komando, tetapi juga soal siap untuk dipimpin dengan hati yang lapang dan akal yang cerdas. John C. Maxwell dalam Leadership 101 menyatakan bahwa kepemimpinan bukanlah soal jabatan, melainkan soal pengaruh. 

Siapapun bisa memimpin, dan siapapun juga harus siap dipimpin. Dua hal ini bukanlah posisi yang saling berseberangan, tetapi dua sisi dari koin yang sama. Tanpa keduanya berjalan seiring, kepemimpinan akan timpang dan rakyat menjadi korban.

Antara Ambisi dan Amanah

Kita hidup di zaman ketika banyak orang berlomba-lomba merebut posisi pemimpin. Pilkada, pemilu, pemilihan organisasi, hingga musyawarah kecil di lingkungan kampus atau RT sekalipun, menjadi arena “kompetisi” bukan hanya ide, tetapi juga ambisi.

Namun, ada satu pola yang berulang: ketika seseorang berhasil duduk di kursi kekuasaan, tidak sedikit yang berubah menjadi semena-mena, seolah kekuasaan adalah milik pribadi, bukan amanah rakyat. Dan ketika seseorang gagal mendapatkan kursi tersebut, ia mulai menggerutu, menyalahkan sistem, bahkan kadang menjelekkan pemimpin yang sah.

Inilah yang menjadi penyakit kepemimpinan masa kini: kita ingin memimpin, tapi tidak siap dipimpin. Padahal, Rasulullah SAW mengingatkan dalam haditsnya:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Kepemimpinan adalah amanah besar. Ia bukan hadiah, bukan hasil perburuan, tapi beban pertanggungjawaban dunia-akhirat. Maka mereka yang meminta kepemimpinan tanpa kesiapan, sama seperti seseorang yang meminta beban besar tanpa tahu cara memikulnya.

Yang Memimpin dan Yang Dipimpin, Sama-Sama Mulia

Satu kesalahan besar dalam pandangan kita hari ini adalah menganggap bahwa posisi pemimpin lebih mulia daripada yang dipimpin. Seakan-akan menjadi rakyat itu posisi lemah, dan menjadi pemimpin adalah posisi agung.

Padahal, kemuliaan tidak terletak pada posisi, melainkan pada sikap dan niat. Ketika seorang pemimpin berlaku adil, bijaksana, melayani dengan sepenuh hati, ia menjadi mulia. Namun rakyat yang turut mendukung, mendoakan, dan menjaga stabilitas sosial juga tidak kalah mulianya.

Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian.” (HR. Muslim)

Artinya, dalam Islam, kepemimpinan dibangun atas dasar cinta dan doa, bukan sekadar komando dan dominasi. Indonesia membutuhkan dua jenis insan: yang siap memimpin dan yang siap dipimpin dengan hati yang saling menopang.

Kita tidak boleh hanya mengkritik pemimpin, tetapi enggan berkontribusi. Demikian pula, seorang pemimpin tidak boleh hanya menuntut loyalitas tanpa memberikan keadilan dan pelayanan.

Kesiapan Tidak Muncul Seketika

Pertanyaan pentingnya adalah: darimana datangnya kesiapan untuk memimpin dan dipimpin? Jawabannya adalah: latihan dan pengalaman langsung.

Tidak ada pemimpin besar yang muncul tiba-tiba. Setiap pemimpin hebat pasti ditempa dalam proses panjang, penuh tantangan, dan pengorbanan. Mereka belajar mendengarkan, bersikap adil, bersabar, menghadapi kritik, dan mengelola emosi. Semua itu tidak bisa dipelajari hanya dari teori atau seminar.

Rhenald Kasali, dalam berbagai tulisannya tentang perubahan dan kepemimpinan, menekankan pentingnya proses pembentukan karakter sejak muda. Ia menyebut bahwa anak muda harus belajar kepemimpinan mulai dari lingkungan kecil — keluarga, sekolah, komunitas — karena dari situlah mereka dilatih memahami tanggung jawab sosial.

Kepemimpinan yang matang hanya bisa lahir dari pengalaman memimpin yang kecil-kecil, bukan dari pencitraan sesaat. Begitu pula, kesiapan untuk dipimpin lahir dari kerendahan hati dan empati untuk ikut serta menyukseskan cita-cita bersama.

Baca Juga :

  1. Pesantren Leadership Primago Buka Jenjang Pendidikan Mulai Dari Kelas 4 SD/MI
  2. Santri Pesantren Leadership Primago Sabet 19 Medali di UIKA Championship Silat
  3. Pesantren Leadership Primago Raih Juara Lomba Karya Film Pendek Nasional
  4. Nakhwah Nisaul Jinan alumni PRIMAGO Naik Langsung dari Kelas 1 ke Kelas 3 Gontor Putri
  5. Ali El-Muntazar Rabbani Bin Priyanto, Alumni Primago Mengukir Banyak Prestasi di Gontor
  6. Cantiknya Putri Respati: Sabet Beberapa Prestasi di Gontor Putri Kampus 1
  7. Alumni PRIMAGO Zahir dan Timnya Sabet Juara Umum dengan Karya Inovatif Dalam Ajang Gontor Science Olympiad 2023

Indonesia Emas 2045: Kamu adalah Pemimpinnya

Indonesia tengah menuju masa depan besar: Indonesia Emas 2045. Tahun di mana bangsa ini genap berusia 100 tahun, dan diprediksi akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan sosial terbesar dunia.

Pertanyaannya: siapkah kamu jadi bagian dari masa depan itu? Mau tidak mau, suka tidak suka, setiap dari kita akan menjadi pemimpin pada masanya. Entah itu pemimpin keluarga, pemimpin komunitas, pemimpin proyek, atau pemimpin bangsa.

Bahkan ketika kamu tidak memegang jabatan pun, kamu tetap akan ditanya: “Apa peranmu dalam perubahan bangsa?” Karena itu, mulai sekarang, bangun mental siap memimpin dan siap dipimpin. 

Belajar mendengar, belajar bersabar, belajar mengambil keputusan, belajar menahan diri dari sikap impulsif. Semua itu adalah bekal kepemimpinan.

Seperti kata John Maxwell: “Pemimpin besar tidak menciptakan pengikut. Mereka menciptakan pemimpin-pemimpin berikutnya.” Artinya, pemimpin sejati bukanlah mereka yang berdiri sendiri di puncak, tapi yang mengangkat orang lain untuk berdiri bersamanya. Dan untuk itu, dibutuhkan generasi yang juga siap dipimpin dulu, sebelum memimpin.

Menjadi Generasi yang Siap

Maka tugas kita sebagai generasi muda Indonesia hari ini adalah:

  • Belajar memimpin dengan keteladanan, bukan hanya perintah.
  • Belajar dipimpin dengan kepercayaan, bukan hanya ketaatan buta.
  • Belajar menghadapi perbedaan tanpa memecah belah.
  • Belajar mencari solusi, bukan menyebar keluhan.
  • Belajar memperkuat persatuan, bukan memperkeruh keadaan.

Dengan begitu, ketika waktunya tiba, kita tidak hanya siap duduk di kursi pemimpin, tapi juga siap menjadi rakyat yang mendukung kepemimpinan yang benar. Kita tidak hanya siap memberi instruksi, tapi juga siap menerima arahan dengan cerdas.

Karena sejatinya, Indonesia tidak kekurangan orang pintar. Tapi kita masih butuh lebih banyak orang yang benar-benar siap: siap memimpin dan siap dipimpin. [Oleh : Kresna Eka Raharja, S.Th.I. M,Sos]  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

YouTube
Instagram